Tuesday, May 3, 2011

Cerita untuk Kawan Lama

Berapa tahun tidak bersua bung, menyeruput cairan hitam berampas penuh kafein, meremah kacang kulit, membakar tembakau, dan membincang tentang malam. Ah paling-paling kau sudah lelap meniduri istrimu atau malah meninabobokan anakmu.
Tidak ada balasan atas SMS yang kukirim itu. Malam semakin larut. Angin menggoyang-goyang pohon sirkaya. Daunnya merayap-rayap atap kamar dari seng. Mirip suara seorang nenek tua yang sedang menyapu pelataran kosan kita saat pagi buta.
Aku masih duduk di kursi kayu sepanjang satu setengah meter itu bung. Kursi yang pernah kau balut cat warna merah yang katamu sesuai warna khas partai politik kebanggaanmu. Katamu sebuah warna yang melambangkan keberanian, ketegasan. Dan seorang pemimpin perlu itu, katamu.

Iya, kau sangat gemar membincang politik. Bahkan jika aku sampai terkantuk-kantuk kau dengan sergap menyedu kopi dalam gelas dari sisa kopi sebelumnya. Katamu, agar aku tidak megantuk. Maklum kau mahasiswa Sospol, dan aktivis kampus. Sedang aku mahasiwa kupu-kupu di sebuah unversitas kurang terkenal yang basisnya mencetak calon guru.
Aku masih ingat beberapa petuahmu, bung. Jadilah mahasiswa yang berani, berjiwa sosial, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Petuah itu selalu kau sampaikan sebagai obrolan malam kita. Pohon sirkaya itu saksinya, kursi kayu ini mungkin juga.
Suaramu lantang, tanganmu menggenggam, jiwamu seakan berkobar, menyala-nyala diantara gelap malam dan lelap orang. Lagu darah juang, kau ingat? Bukankah itu playlist andalanmu. Sampai-sampai kau tidak melirik lagu-lagu lain. Kau bahas satu persatu baitnya. Kau pungkasi maknanya. Garis bawahnya adalah kebobrokan negara ini.
Ah aku benar-benar rindu obrolan itu. Tak kudapati lagi disini bung. Sebuah kos baru yang penuh orang-orang tak doyan berbincang sepertimu. Entah kenapa aku sampai mendamba yang demikian. Nyatanya aku sering stres. Berpeluh sendirian mengumpati pemerintah yang bobrok itu.
Geram saat kudengar kabar demikian. Tentang korupsi, tentang harga sembako yang naik, tentang penindasan dan sebagainya. Kau dimana bung? Aku tak pernah benar-benar tahu keadanmu. SMS ku juga jarang kau balas. Ku telpon, operator bilang kau reject.
Aku sering membayangkan dirimu duduk di senayan bung. Dikursi empuk melingkar yang bikin kantuk setiap orang yang duduk di atasnya. Kau memakai jas, berdasi dan mengendarai mobil jenis camry.
“Disana itu seperti lingkaran setan,” ujarmu sambil mengelap kacamatamu. Apa kau sudah duduk di lingkaran setan disana bung? Siapa yang benar malah akan terbuang. Semoga saja tidak. Lekas, semoga idealismu tak luntur semudah itu. Bukankah kau pernah jadi buronan Orde baru. Katamu hanya kaeran memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sudahlah bung dimanapun kamu tidak masalah besar bagiku. Harapku, idealismu tak luntur di sana di gendung dengan lingkaran setan itu.