Wednesday, April 13, 2011

aku, malaikat, dan setan


#/1/
ini malam keberapa, tanyaku pada malaikat
entahlah, yang pasti kalian masih bungkam
dan memilih untuk saling munafik, sela setan
diam kau setan, tahu apa kau tentang munafik
malaikat, tapi aku mencintainya
bukankah itu memang watakmu hai bajingan, hardik setan
ia sepertinya juga mencintaimu, hibur malaikat
benarkah, aku juga merasakannya
matanya beda, senyumnya juga mesra
lantas kenapa tidak kau sikat saja, setan bicara
apa kata hatimu, tanya malaikat
hatiku tidak berkata apa-apa, malaikat
kali ini aku benar-benar buta
bimbang, dan takut, begitulah malaikat
basa-basi, sindir setan
laknat kau setan
aku tidak suka basa-basi
begitu pula ia
lalu apa yang kau bimbangkan, malaikat bertanya
keabadian, malaikat
siapa peduli keabadian, setan meragukan
aku, setan terkutuk
memangnya apa yang kau takutkan
aku tidak ingin jauh dengannya
sekarang, besok, lusa, dan selamanya
aku mencintainya malaikat, seperti kau tahu bukan
cinta macam apa ini, pancing setan
dengar malaikat, setan menanyaiku demikian
lantas kujawab apa
cinta monyet, cinta sejati, cinta abadi,
aku tak mengerti definisi cinta
aku merasa nyaman dengannya
malaikat, kau jangan melulu tanya
memang ia bisa apa, bisik setan
kenapa kau diam malaikat
bukankah langit yang mengenalkan aku dengannya
dan bumi telah mempertemukan
dan kau perantaranya
kenapa malaikat, kenapa
barang kali itu hanya kebetulan, ujar setan, pilon
tidak, ini bukan kebetulan
lalu apa yang kau inginkan, tanya malaikat, lagi
aku ingin bersamanya
selamanya, itu saja
tak peduli hubungan kami apa
enak saja kau, gertak setan
aku tak mau kehilangan dia, malaikat
tolong, tolong aku
jaga ia untukku, agar tidak sepi
agar tidak luka sendiri
malaiakat, aku memohon
aku meminta
dan kau setan, aku tak sudi ikut seruanmu
aku pernah tersesat karenamu

#/2/...

Tuesday, April 12, 2011

Mengamen ala Pantomim?


Satu lagi seorang yang salah memilih profesi setelah Nurdin Halid.
Siang di jalanan. Tepatnya di dalam sebuah bus antar kota PO. Indonesia jurusan Semarang-Surabaya. Bus kelas ekonomi dengan kondisi yang penuh dengan penumpang. "Pati kota, Pati kota, Pati kota," ujar pria penyangking karcis. Tentu ia kondektur bus yang sedang memberi kabar bagi penumpang yang berniat turun. Lalu dalam keadaan belum seutuhnya berhenti, sekitar tiga penumpang turun dengan terhuyung-huyung. Namun tidak mengurangi kelengangan. Tetap sepi dan saya masih berdiri. Terimaksih Tuhan!
Menyusul, seorang pria cungkring bertopi, masuk. Setelah sedikit upaya mengejar bus yang mulai jalan, tangannya mampu menggengam gagang pegangan pintu masuk. Nyengir, karena lega bisa ikut bus. Pria itu masuk dengan membawa sebuah gitar mini model kentrung. yang satu ini jelas pengamen. Pembawaannya necis abis. Celana jens dangan tambalan sana-sini dan berbagai aksesoris; gelang serta kalung yang bergerigi.
Ia lalu mencari posisi untuk beraksi panggung dalam bus. Pic (alat bantu untuk menggenjreng gitar) ia rogoh dari sakunya. Pic gitar yang terbuat dari potongan bekas kartu perdana seluler. Ia berdiri tepat di depan saya. Dan saya bisa melihat dengan jelas gerak-gerik serta mimik muka pengamen muda tersebut.
Mula-mula ia menunduk, memberi salam kepada sopir, kondektur juga penumpang bus (mirip budaya salam Jepang). Ia menunduk dengan kurun yang lumayan lama dan mulutnya komat-kamit. "Entahlah, biasanya juga pakek sambutan panjang lebar," pikir saya.
Kemudian ia mulai menggenjreng senar gitar kentrungnya. Sebuah lagu yang tak jelas ia dendangkan. Saya dan mungkin penumpang lain pastinya bosan. Aksi panggung seorang pengamen tanpa suara. Sempat kukira ini model karaoke; penumpang mutlak menyanyi. Tapi, ternyata genjrengan yang tak beralunan ia tampilkan. Saya mulai yakin orang ini tidak paham betul mengenai kunci-kunci gitar.
Satu lagu selesai; mungkin. Setelah jeda beberapa saat ia mulai menggenjreng lagi. Masih serupa tadi, tanpa nyanyian. Dan anehnya jari pembaca notenya tidak berubah-ubah, tetap pada satu titik senar yang entah kunci apa.
Saya benar-benar bosan. Berharap ada seorang penumpang yang beridiri lalu berteriak, "Hentikan, atau mungkin cukup, atau stop," Sebelum menyusul lagu yang mungkin ia maksudkan lagu keempat. Memang cukup lama ia beraksi. Kurang lebih lima belas menit. Cukup lama untuk mendengarkan aluanan musik yang tidak jelas; bosok.
Saya mulai t0dak peduli orang itu, lebih baik saya ber-sms ria. Peduli syetan mau dibilang tidak menghargai. Sebab tidak ada yang patut untuk dihargai. Beberapa saat kemudian pria cungkring itu (saya tidak ikhlas menyebutnya pengamen) menyudahi aksinya. Pic tadi ia selipkan pada sisi kenturngnya lantas menunduk seperti di awal tadi.
Pikirku, "Siapa yang bakal melihat aksi menundukmu itu Bung. Sedang semua orang berhasil anda buat sekarat, dan mungkin geram bahkan mengantuk dengan aksi panggugnmu." Ia lalu berjalan ke depan, menyodorkan ammplop kecil putih kepada penumpang termasuk saya yang dari tadi berdiri bosan tepat di depannya.
Kemudian saya terima amplop itu, dan cukup mengejutkan. Di halaman belakang amplop bertuliskan. "SAYA BISU. MOHON BANTUANNYA UNTUK MAKAN DAN BIAYA KELUARGA ."
Saya tidak memasukkan uang atau apapaun ke dalam amplop yang berisi pengakuan tersebut. Bahkan sebagaian penumpang yang saya tahu tidak menggubris amplop yang disodorkan pria cungkring itu.
Saya lebih senang mengkritik. Kalapun saya bisa menulis waktu itu akan kumasukkan tulisan ini dalam amplopnya. Kalau bisu kenapa ngamen? atau jangan-jangan anda ini mau tebar iba kepada penumpang. Ah mungkin yang lain bisa, tapi bagi saya anda telah salah memilih profesi. Banyak kerjaan di luar sana yang tidak membutuhkan bacot. Saya tidak menganggap anda ini cacat, maka tidak perlu dikasihani.
Atau kalau memang menggemari bidang ngamen. Mbokya cari rekan. Jangan single macam ini. Kalau tidak bisa jadi vokalis paling tidak kan jadi gitaris atau kentrungis. Itupun perlu belajar lagi. Kualitas, yang di pertaruhkan dalam hidup. Bahkan dalam panggung bus macam ini sekalipun.
Sebab saya juga pernah ngamen, Bung!